Monday 29 April 2013

Menit-Menit yang Masuk Akal Untuk Hal-Hal yang Tidak Masuk Akal

model: Riska Amalia


Detik di jam dinding adalah riuh paling berisik dan mengusik ketika ini. Tapi di selang tiap geriknya adalah tenang yang menarik. Ada hangat yang mencandu dan mengaliri tubuh. Tubuh yang dekat dan lekat menjembatani pertukaran hasrat. Dan yang menjadi alasan bagi semua ini adalah rindu yang sudah lama tertahan dan berkarat.

Menit pertama adalah momen yang membekukan. Jangankan pikiran, kesadaran saja nampaknya sudah kosong tak terisikan. Di stasiun ini kereta adalah mati. Berisiknya tak ada, hanya mati. Di tengahnya kita yang menyimpan rindu keterlaluan. Di tengahnya kita yang lama berseberangan.

Menit kedua adalah pertukaran peran dari diam dan pikiran untuk melontarkan kalimat. Namun jangankan kalimat, aksara saja kita buta kini. Kita diam lagi. Hanya tetap merekatkan peluk yang mengisi tiap lekuk. Seolah-olah kita memang menyediakan waktu ini untuk resmi takluk. Dua menit ini adalah penghambaan kita pada sesuatu yang tidak terjelaskan. Bukankah kita seharusnya banyak bertukar cerita saja?

Menit ketiga lebih tak masuk akal. Dari peluk yang dekat ini, aku merasa kamu sudah kebanjiran banyak kata dan pertanyaan juga. Tapi dalam hitungan menit ketiga ini masih saja diam yang menguasa.  Kita adalah patung yang paling retoris saat ini, yang diamnya adalah pesan yang bisa ditafsirkan sebagai upaya penyampaian gagasan. Kita adalah manusia yang resmi seratus persen terpaku pada interaksi yang simbolis kala ini. Yang semua bahasanya diwakili oleh satu gerakan beku, sebuah pelukan yang tidak lebih.

Menit keempat bosan sudah mulai mengacak-ngacak. Jika bosan terlalu sarkastik, mungkin lebih tepatnya pegal. Kita sudah sama-sama menderita dengan adegan yang terlalu lama dilihat orang di stasiun ini sejak kamu turun dari keretamu. Tapi kita juga sudah sama-sama menderita dengan perpisahan yang pernah menarikmu menjauh berlalu dengan kereta yang juga itu. Kita sudah merasa sakit di sendi, tapi soal hati jelas puas belum terisi.

Menit kelima adalah waktunya menyerah. Kita saling melepas peluk yang sudah mengikat dari tadi. Setelah peluk usai, matamu yang berair adalah penjelasan yang lebih naratif lagi. air itu bisa saja jatuh ke tanah dan menuliskan alfabet-alfabet bening nan transparan yang mengisahkan serindu apa kamu dan sesenang apa kamu sekarang, namun yang terjadi adalah air dari matamu ini terseka oleh tanganku yang terlanjur malu jika orang-orang di sini tertawa dan melihat kita sebagai orang yang kemabukan dan terlalu banyak membaca novel percintaan. Kita saling lihat dan akhirnya sama-sama menemukan apa yang harusnya sedari tadi kita lakukan dan ucapkan. Hal-hal sederhana, seperti menanyakan kabar.

"Apa kabar?" kataku tersenyum.

Kamu tidak menjawab dan memutar lagi menit-menit yang sudah dilewati dengan tindakan yang sama dan presisi.


 *) we're here, just in case you don't know what you're reading now 

No comments:

Post a Comment