model: Riska Amalia |
Detik di jam dinding adalah riuh paling berisik dan mengusik ketika ini. Tapi di selang tiap geriknya adalah tenang yang menarik. Ada hangat yang mencandu dan mengaliri tubuh. Tubuh yang dekat dan lekat menjembatani pertukaran hasrat. Dan yang menjadi alasan bagi semua ini adalah rindu yang sudah lama tertahan dan berkarat.
Menit
pertama adalah momen yang membekukan. Jangankan pikiran, kesadaran saja
nampaknya sudah kosong tak terisikan. Di stasiun ini kereta adalah
mati. Berisiknya tak ada, hanya mati. Di tengahnya kita yang menyimpan
rindu keterlaluan. Di tengahnya kita yang lama berseberangan.
Menit
kedua adalah pertukaran peran dari diam dan pikiran untuk melontarkan
kalimat. Namun jangankan kalimat, aksara saja kita buta kini. Kita diam
lagi. Hanya tetap merekatkan peluk yang mengisi tiap lekuk. Seolah-olah
kita memang menyediakan waktu ini untuk resmi takluk. Dua menit ini
adalah penghambaan kita pada sesuatu yang tidak terjelaskan. Bukankah
kita seharusnya banyak bertukar cerita saja?
Menit
ketiga lebih tak masuk akal. Dari peluk yang dekat ini, aku merasa kamu
sudah kebanjiran banyak kata dan pertanyaan juga. Tapi dalam hitungan
menit ketiga ini masih saja diam yang menguasa. Kita adalah patung yang
paling retoris saat ini, yang diamnya adalah pesan yang bisa
ditafsirkan sebagai upaya penyampaian gagasan. Kita adalah manusia yang
resmi seratus persen terpaku pada interaksi yang simbolis kala ini. Yang
semua bahasanya diwakili oleh satu gerakan beku, sebuah pelukan yang
tidak lebih.
Menit
keempat bosan sudah mulai mengacak-ngacak. Jika bosan terlalu
sarkastik, mungkin lebih tepatnya pegal. Kita sudah sama-sama menderita
dengan adegan yang terlalu lama dilihat orang di stasiun ini sejak kamu
turun dari keretamu. Tapi kita juga sudah sama-sama menderita dengan
perpisahan yang pernah menarikmu menjauh berlalu dengan kereta yang juga
itu. Kita sudah merasa sakit di sendi, tapi soal hati jelas puas belum
terisi.
Menit
kelima adalah waktunya menyerah. Kita saling melepas peluk yang sudah
mengikat dari tadi. Setelah peluk usai, matamu yang berair adalah
penjelasan yang lebih naratif lagi. air itu bisa saja jatuh ke tanah dan
menuliskan alfabet-alfabet bening nan transparan yang mengisahkan
serindu apa kamu dan sesenang apa kamu sekarang, namun yang terjadi
adalah air dari matamu ini terseka oleh tanganku yang terlanjur malu
jika orang-orang di sini tertawa dan melihat kita sebagai orang yang
kemabukan dan terlalu banyak membaca novel percintaan. Kita saling lihat
dan akhirnya sama-sama menemukan apa yang harusnya sedari tadi kita
lakukan dan ucapkan. Hal-hal sederhana, seperti menanyakan kabar.
"Apa kabar?" kataku tersenyum.
Kamu tidak menjawab dan memutar lagi menit-menit yang sudah dilewati dengan tindakan yang sama dan presisi.
*) we're here, just in case you don't know what you're reading now
No comments:
Post a Comment