Monday 13 May 2013

The Way You Look Tonight


Model: Rizky N. Azizah & couple


Some day, when I'm awfully low,
When the world is cold,
I will feel a glow just thinking of you
And the way you look tonight.

Yes you're lovely, with your smile so warm
And your cheeks so soft,
There is nothing for me but to love you,
And the way you look tonight.

With each word your tenderness grows,
Tearing my fear apart
And that laugh that wrinkles your nose,
Touches my foolish heart.

Lovely, never, ever change.
Keep that breathless charm.
Won't you please arrange it ?
Cause I love you, just the way you look tonight.

Mm, mm, mm, mm,
Just the way you look to-night.

#np Frank Sinatra - The Way You Look Tonight






*) we're here, just in case you don't know what you're reading now  




Lari

model: Sindy Novita Ayu


Bujur ombak kaku. Senja omong kosong. Kakinya berlari-lari kecil di atas pasir sambil sesekali diam untuk sejenak dihembus angin dingin. Matanya mengamati pesisir yang menari kecil di ujung kakinya. Matanya masih menunduk menatap ke bawah. Ingatannya jauh mengelana ke seberang.

Datang ke sini adalah pelarian. Meski sambil sesekali menikmati panorama senja yang sayang jika hanya terkenang mata. Sambil juga Ia memotret langit, laut, dan apa saja yang bisa Ia dapat. Meski apa yang Ia cari sebenarnya semakin susah di dapat. Dalam satu bingkai sorotan lensa dengan kecepatan tertentu, air pantai yang berlarian akan nampak resah seperti diri sendiri. Ia menyukai itu tapi tak pernah mau begitu. Matahari yang redup ragu-ragu dengan cahaya oranye pun lebih tahu bahwa menghilang pelan-pelan di balik malam tidak pernah jadi jalan termudah untuk melupakan hangatnya siang. Sama sepertinya, berlari kemanapun sama saja bila pada akhirnya Ia hanya berakhir di kenangan yang terseok di ujung pikiran.

Datang ke sini, baginya, adalah puisi. Hanya saja Ia masih kebingungan menemukan kata pertama untuk mengawali agar nantinya mudah untuk diakhiri. Ia takut jika saja ia sembarang memilih diksi, pada akhirnya Ia akan lagi terkunci tak bisa lari. Seperti sekarang ini. Kemudian Ia belajar mendengar apa yang ingin dikatakan alam. Ia mengagumi keindahan, tapi  tak pernah tahu bagaimana keindahan bisa menelan seseorang gelap-gelap saat kalap. Ia memejam mata dan mencoba membuka telinganya lebar. Senja di depan matanya bercerita banyak tentang cerita-cerita yang ingin Ia tulis, rangkai menjadi baris, menjadi bait, menjadi puisi. Cerita itu tentang cara melupakan paling ampuh di jagad raya. Cerita itu tentang menghilangkan kenangan masih paling manjur di muka bumi. Cerita itu tentang dirinya yang masih saja mati-matian meyakinkan dirinya bahwa Ia sudah tidak bersama dengan laki-laki yang di sampingnya dulu. Cerita itu yang dimanjakan senja di telinganya, menggelitik dan membuat matanya lebih terpejam dan senyumnya lebih muram.

Pada kenyataannya, apa yang dilaluinya kala itu hanya basa-basi. Mengenal dekat sekian lama, tumbuh getir yang tidak juga pasti, dan akhirnya selesai di sakit hati. Ia bingung harus kemana dan menjadi siapa agar tidak lagi punya perasaan yang itu-itu saja. Ia takjub dengan kenangan yang meronta-ronta. Tapi sakit ini indah baginya. Ia suka keindahan, tapi untuk yang ini Ia tak sanggup menahan. Ia ingin memutar lagu di senja ini, di hadapan matahari oranye yang tenggelam pasrah. Tapi Ia tahu lagu hanya akan membunuhnya makin parah. Ia menutup telinga dengan kedua tangannya kuat-kuat, Ia muak dan berontak.

Kemudian Ia lari, pasir halus dan air keruh pantai sore hari Ia telusuri. Hingga air menggerayangi dadanya tinggi, Ia rebahkan tubuhnya di sana. Ia tak tenggelam. Ia hidup tentu. Dalam rebahnya, senja, matahari yang resmi mati, angin pantai, dan ombak semilir membisikkan sebait lirik yang paling Ia hindari saat ini:

kau seperti nyanyian dalam hatiku
yg memanggil rinduku padamu
seperti udara yg kuhela 

kau selalu ada..




*) we're here, just in case you don't know what you're reading now  

Monday 29 April 2013

Menit-Menit yang Masuk Akal Untuk Hal-Hal yang Tidak Masuk Akal

model: Riska Amalia


Detik di jam dinding adalah riuh paling berisik dan mengusik ketika ini. Tapi di selang tiap geriknya adalah tenang yang menarik. Ada hangat yang mencandu dan mengaliri tubuh. Tubuh yang dekat dan lekat menjembatani pertukaran hasrat. Dan yang menjadi alasan bagi semua ini adalah rindu yang sudah lama tertahan dan berkarat.

Menit pertama adalah momen yang membekukan. Jangankan pikiran, kesadaran saja nampaknya sudah kosong tak terisikan. Di stasiun ini kereta adalah mati. Berisiknya tak ada, hanya mati. Di tengahnya kita yang menyimpan rindu keterlaluan. Di tengahnya kita yang lama berseberangan.

Menit kedua adalah pertukaran peran dari diam dan pikiran untuk melontarkan kalimat. Namun jangankan kalimat, aksara saja kita buta kini. Kita diam lagi. Hanya tetap merekatkan peluk yang mengisi tiap lekuk. Seolah-olah kita memang menyediakan waktu ini untuk resmi takluk. Dua menit ini adalah penghambaan kita pada sesuatu yang tidak terjelaskan. Bukankah kita seharusnya banyak bertukar cerita saja?

Menit ketiga lebih tak masuk akal. Dari peluk yang dekat ini, aku merasa kamu sudah kebanjiran banyak kata dan pertanyaan juga. Tapi dalam hitungan menit ketiga ini masih saja diam yang menguasa.  Kita adalah patung yang paling retoris saat ini, yang diamnya adalah pesan yang bisa ditafsirkan sebagai upaya penyampaian gagasan. Kita adalah manusia yang resmi seratus persen terpaku pada interaksi yang simbolis kala ini. Yang semua bahasanya diwakili oleh satu gerakan beku, sebuah pelukan yang tidak lebih.

Menit keempat bosan sudah mulai mengacak-ngacak. Jika bosan terlalu sarkastik, mungkin lebih tepatnya pegal. Kita sudah sama-sama menderita dengan adegan yang terlalu lama dilihat orang di stasiun ini sejak kamu turun dari keretamu. Tapi kita juga sudah sama-sama menderita dengan perpisahan yang pernah menarikmu menjauh berlalu dengan kereta yang juga itu. Kita sudah merasa sakit di sendi, tapi soal hati jelas puas belum terisi.

Menit kelima adalah waktunya menyerah. Kita saling melepas peluk yang sudah mengikat dari tadi. Setelah peluk usai, matamu yang berair adalah penjelasan yang lebih naratif lagi. air itu bisa saja jatuh ke tanah dan menuliskan alfabet-alfabet bening nan transparan yang mengisahkan serindu apa kamu dan sesenang apa kamu sekarang, namun yang terjadi adalah air dari matamu ini terseka oleh tanganku yang terlanjur malu jika orang-orang di sini tertawa dan melihat kita sebagai orang yang kemabukan dan terlalu banyak membaca novel percintaan. Kita saling lihat dan akhirnya sama-sama menemukan apa yang harusnya sedari tadi kita lakukan dan ucapkan. Hal-hal sederhana, seperti menanyakan kabar.

"Apa kabar?" kataku tersenyum.

Kamu tidak menjawab dan memutar lagi menit-menit yang sudah dilewati dengan tindakan yang sama dan presisi.


 *) we're here, just in case you don't know what you're reading now 

Segaris Tatap ke Langit-Langit Selagi Buntu Masih Menyulit

model: Wiwin Tarwinangsih


Kita sedang berkutat dalam tarik ulur yang tak berkesudahan. Awal mulanya sederhana: sebuah keharusan. Keharusan yang membuatmu harus memilih seperti yang dititahkan dan keharusan yang membuatku harus diombang-ambing antara kenyamanan, harapan, dan kesabaran mati-matian.

Di luar denting yang sudah tidak perlu kita hitung berapa jumlahnya, kita masih berdiri tegak seperti patung kristal yang kokoh. Tapi tidakkah terlihat di dalam kerling putih mulai kehilangan kilau yang menggerogoti pahatan dan ukiran yang dulu diguratkan. Di luar, malam makin mengantuk, di dalam, hati makin merasa tertekuk. Di luar jendela kamar, angin masih menghimpun nafas banyak-banyak dan suara jangkrik masih nyaring serak-serak. Di dalam, masih ada kebuntuan yang terserak.

Sesekali aku harus membaringkan tubuh dan menatap langit-langit sambil menghembuskan nafas yang meringankan rongga dada. Di tatapan ke langit-langit itu aku banyak menuangkanpikiran yang menghantui terus-menerus. Kita sudah berkutat lama dengan semua ini dan kita suka, tapi menikah? kita masih kalah dan tak berani melangkah.

Lewat tatapan dengan langit-langit itu aku menuturkan bagaimana orang tuamu menginginkan wanita yang sederhana dan mengikuti kodratnya. Sedang bagiku kodrat kesederhanaan itu bukan berarti menjalani hidup yang itu-itu saja. Dan apakah wanita dengan gemerlap jejeran karir yang berurut bukanlah wanita yang penurut?

Kamu salah kaprah dalam hal ini. Kita tak ingin salah langkah dan akhirnya buntu di sini. Cepat atau lambat, nostalgi, cinta, kisah bagaimana kita memulainya, kenyamanan yang sudah terasa, dan cita-cita atau asa yang membungah harus bisa menemukan jalan keluarnya. Semoga.


 *) we're here, just in case you don't know what you're reading now  

Saturday 20 April 2013

Selamat Ulang Tahun dr. WINNY MAULI

model: Winny Mauli


Selamat Ulang Tahun
dr. WINNY MAULI
The Greatest wish when you're gettin older.
Be the best people to your God
Be the best children to your parents
Be the best doctor to your patient
Your dearest, friend.
You know who we're
xoxo♥


 *) we're here, just in case you don't know what you're reading now 

Choice

model: Yoddie Frianti & Couple


"Siapa yang bisa menebak waktu akan mengarah kemana?" katamu sambil sedikit tertawa. Membalas tawamu aku juga tertawa.

"Iya," jawabku singkat.

"Kenapa bisa?"

"Apanya?"

"Kenapa bisa memulai semuanya dengan keterpaksaan?" tanyamu ingin tahu. Namun di balik ingin tahu itu jelas ada maksud lebih yang jelas kutahu.

"Hahaha susah kalau harus diceritakan," aku sendiri memang tidak tahu bagaimana dan apa yang harus diceritakan.

Kamu menghela nafas sambil menatap ruang kosong. Sedang di dalam diri jelas sekali kamu sedang mencoba mengosongkan sesuatu yang menyesakkan. Kemudian kita berdua mencari titik kosong masing-masing sambil mencoba mengais teka-teki lebih jauh tentang di mana ini akan berakhir. Aku selesai, kamu tak juga bisa sepakat.

Mungkin di dalam kepalamu itu kamu masih menerka alasan yang lebih logis daripada penjelasan emosional khas seorang perempuan. Mungkin di kepalamu itu tidak pernah bisa menerima bahwa ada orang yang mampu menjalani hubungan dengan lawan jenisnya dengan alasan terpaksa dan iseng pada mulanya namun akhirnya bahagia. Mungkin di kepalamu itu kamu masih sibuk mengaitkan premis-premis logis apakah semua keterangan yang diberikan oleh perempuan di sampingmu hanyalah usaha untuk menjauh. Kepalamu yang logis tak akan mampu menjawab. Aku ingin berteriak di kupingmu dan menyuruhmu berhenti dengan desakan untuk memberi alasan lebih masuk akal padamu. Aku muak, namun di satu sisi lain runtuh.

"Berapa tahun?" kamu nampak belum menyerah lagi.

"Tujuh," aku menjawab singkat sambil tetap menunduk. Jika perdebatan atau diam ini bvergulir 30 menit lagi pasti ada titik air di mata ini yang mendarat ke tanah di bawah.

"Tapi dulu kamu yang bilang kalau kamu bosan dengan hubunganmu yang sudah lama itu?"

Laki-laki di sampingku ini batu. Aku makin diam dan mata ini pun tergenang. Tapi dia tidak juga mengerti bahwa perempuan menangis tidak hanya karena sedih namun juga karena bingung dan tidak bisa menjelaskan lebih.

"Dulu ketika kita sepakat memulai ini, kamu bisa menyudutkannya dengan alasan-alasan yangmembuatnya tampak buruk dan kamu bosan dengannya. Kemudian kita sepakat membuat hubungan yang baru di belakang hubunganmu selama dua bulan ini. Agak aneh jika sekarang kamu berubah dan semua rasa tentangnya kembali," kamu menjelaskan dengan argumen otak kirimu, tapi tahukah kamu kalau ini bukan hanya tentang sel-sel otak yang logis mengaitkan kata demi kata. Ini tentang hati dan perempuan lebih peka dan mudah dibuat tidak mengerti sendiri.

Aku diam dan makin tidak mengerti harus menjelaskan bagaimana. Menunduk adalah hal paling memalukan saat ini tapi cukup meredakan gejolak.

"Sekarang, kamu mau bagaimana?" katamu. Ini harus jadi pertanyaan terakhir, aku harus menjawab dengan jawaban yang membungkammu.

"Kita selesai dengan main-main ini. Anggap saja ketika aku setuju memulai ini denganmu hanya karena aku emosi. Ternyata kamu tidak akan bisa masuk ke tempatnya di dalam sini. Aku pernah bosan tapi tak pernah hilang rasa. Aku dan dia memulai semua dengan perasaan yang kosong namun kini telah terisi banyak. Tujuh tahun tidak sebentar untuk merasa nyaman, dan otak laki-laki keras kepalamu tidak akan mengerti. apapun yang terjadi dulu tidak sepenting yang terjadi sekarang. Maaf jika kamu tidak mengerti, tapi tujuh tahun dengannya sudah banyak menghadiahi cerita yang mengisi kosong yang dulu ada saat mulanya. Aku tetap dengannya dan sudahi main-main ini"

Aku berdiri bangkit dari tempatku kemudian bergegas pergi sambil tak mau menoleh padamu. Kamu bukan siapa-siapa dan tak akan pernah sebaik dia. Ini salah dan kita resmi mengalah. Toh aku masih ingin menemui tahun kedelapan, sembilan, dan seterusnya dengannya.



*) we're here, just in case you don't know what you're reading now 

Best Friend Is Like a Star

model: Avia Riska Syofiani


"Best Friend is like a Star"
You dont always see them, but you know they are always there.
HAPPY 19th BIRTHDAY
Avia Riska Syofiani
Bunch wishes from me to wish you a day and every day that brings the same kind of happiness & joy.

Sincerely,
Nadya Marsha FY



*) we're here, just in case you don't know what you're reading now 


Angin

model: Cindy Pratama


Angin tidak pernah salah mengantarkan kita kemana dan bertemu siapa. Meski tak punya mata, angin punya rasa atau mungkin kehendak yang menjadikan segalanya bisa diraba. Ketika yang dikehendakinya hadir dan telah terbawa, angin juga yang punya kehendak untuk membawanya pergi. Meski pada akhirnya kepergian itu berujung entah. Entah dengan atau tanpa meninggalkan rasa.

Sesaat lalu kita menjadi hal yang diantarkan angin untuk saling bertemu. Saling menjebak diri dalam ketiba-tibaan dan pertanyaan bagaimana bisa. Sesaat lalu kita menjadi hal yang lucu dan kikuk ketika mulai mengalir basa-basi yang disengaja membuka nuansa. Siang di pantai itu merekah, kita tak juga bisa menerka. Sesaat lalu kita terus mengiyakan saja semua keraguan yang muncul setengah-setengah, ragu yang kalah oleh rasa nyaman yang tiba-tiba. Acuhkan semua dan kita murni bahagia. Meski akhirnya kita jugalah yang menjadi hal yang dipisahkan angin. Yang akhirnya mendiamkan diri mencoba menetralkan perasaan agar bisa kembali seperti mulanya.

Kamu datang tiba-tiba mengagetkan lamun yang kedap cerita. Yang setelahnya membawa lamun baru yang tak berkesudahan. Lamun baru yang berisi siangmu. Yang ikut merekat erat ketika raga tak lagi mendekat.


Kita berpisah. Kamu pulang, aku pulang, dan kita tak lagi disatukan dekat. Seperti ingin selalu bermain dengan teka-teki kita sepakat untuk tak menyimpan segala hal yang membuat kita merencanakan pertemuan lagi.


*) we're here, just in case you don't know what you're reading now

Saturday 13 April 2013

19:30

model: Nike Putri Yunandika


selalu saja ada udara dingin yang keluar dari mulut orang yang menunggu
selalu terpanggil akan sejentik suara yang berhembus
dan detik terdengar membentak-bentak
samar-samar perkiraan akan mudahnya janji di tepati pasti datang
lambat laun imaji mulai rewel tanpa banyak menegur

masih pantaskah untuk marah?
sedang tanpa terasa mungkin sudah banyak hati yang berdarah akan kata-kata
masih pantaskah buat kecewa?
sedang sadar atau tidak entah sudah berapa banyak mata yang basah karena bualan

kali ini coba nikmati saja
siapa tahu terlambat jauh lebih ramah
coba saja untuk tersenyum kecil-kecil
siapa tahu akan ada langkah yang membungah
atau malah ada kesadaran dalam diri yang datang pelan-pelan dan menggaruk senyum yang kecil-kecil tadi

jangan terlalu banyak merasa benar
nikmati pelan-pelan hujan yang menancap-nancap di kepala
rasanya mulai seperti belaian ibu

bandingkan saja dengan apa yang pernah di lakukan oleh tingkah ku

atau ku tinggalkan saja catatan di sofa paling belakang dekat jendela di mana paling banyak hujan yang bisa kau lihat,

" 19:30...terima kasih sudah memasungku di sudut waktu :) "

Iconlife - Minggu, 3 Oktober 2010. Kamu terlambat lagi, catatan itu berpindah tangan, dan kita tidak pernah bertemu lagi.

 *) we're here, just in case you don't know what you're reading now    

Tuesday 9 April 2013

Pulang



"Yang pergi sebelas tahun silam bukan kamu. Lebih dari itu aku pun lenyap. Meski kita tidak pernah sepakat lenyap adalah ketika teman sepertimu tidak bisa lebih lama berteman dengan hidup. Dengan usiamu yang lebih tua, kamu juga menjadi saudara. Aku lebih muda, bodoh, dan teramat membutuhkanmu. Tanpa pernah tahu di ujung waktu, kamu sedang sibuk menahan ronta.

Siapa juga yang bisa tahu jika senyum dan ceriamu tidak pernah terlihat pucat? Kamu yang tampak adalah kamu yang akan bertahan keras menginjaki sakit. Kamu yang tampak adalah kamu yang tidak pernah kehabisan cara menebar semangat lewat senyum yang putih. Meski dalam darahmu, putih sedang menyiksa. Kamu merasa, dan aku yang tidak pernah tahu yang sedang kamu rasa hanya bisa menyangka kamu bahagia. Kamu tetap terlihat riang dengan seragam merah putihmu di setiap siang.

Hari itu, yang aku tahu kamu tetap tersenyum. Hari itu, yang aku tahu kamu masih menebar pedulimu pada sekitarmu. Hari itu, yang aku tahu kamu bergegas pulang lebih cepat dari biasanya. Tak ada lebih dari yang aku tahu. Seperti akhirnya aku tidak pernah tahu, pulangmu yang lebih cepat hari itu memanglah terlalu cepat.

Kamu pulang, aku menjadi hilang.."

Aku menutup catatanku di usiaku yang sekarang. Catatan yang terlampau silam untuk dikenang. Teman sepertimu terlalu cepat pulang. Senyum seperti milikmu terlalu dini meremang. Dulu sontak ada tangis anak kecil dari sosok yang ditinggal hilang. Kini tidak, dewasa telah melahirkan malu untuk menangis meski dunia yang memberat tak menghalangi juga untuk mengenang. Tapi sketsa hari itu, sebelas tahun lalu, saat kamu pulang lebih cepat dari sekolah, selalu menjadi alasan bagi dewasa untuk tidak pernah bisa mengeringkan mata yang detik ini menggenang.


Novita Sari
(1990-2002)

 *) we're here, just in case you don't know what you're reading now   

Saturday 6 April 2013

Iya (Balasan Untuk Mata Kota dari Rizka Zahra Tamira)



Aku tau pada saat itu aku tertawa, tetapi tidak juga. Tidak selamanya gerakan menganga disertai suara bernada gembira disebut dengan tertawa. Sayangnya tertawa dan bahagia adalah dua hal yang tidak memiliki korelasi dalam hal ini. Kamu tau ? kamu adalah orang paling ajaib. Aku sengaja sibuk menggambar sementara otakmu semakin liar menyusun kata.

aku wanita dan aku tau.sangat tau.

Hanya saja aku terlanjur mempercayaimu sebagai inspirasi hingga butiran gula dalam kopi kita tergerus. Ya, sesekali aku mengaduknya salah tingkah.

pertama, aku tidak suka kopi
kedua, mengapa aku mau saja memesan kopi
ketiga, mengapa aku harus menemuimu dan membiarkan kita berada seakan lima tahun lebih muda.

waktuku habis.
aku harus kembali.

berhentilah merokok dan rapatkan jaketmu itu. 

*this is a reply for Mata Kota 


*) we're here, just in case you don't know what you're reading now    

Terlambat

 
model: Mutiara Ramadhani

"Menarilah di waktu-waktu petang beranjak datang, dan biarkan sesekali kulitmu kebingungan memantulkan warna langit dan terjebak di antara jinga megah yang kemerahan. Kemudian berjalanlah dan jangan menyandarkan kakimu pada keraguan. Aku akan tetap di sini sampai senja jingga itu berangsur menggelap. Datang saja bawa keyakinanmu. Jangan terlambat karena kau sudah teramat telat."

Itu menjadi kalimatmu yang mempercepatku bergegas membungkus keyakinan yang kamu anggap telat. Memang telat ketika hatimu telah merapat. Memang telat dan terlalu memalukan untuk masih saja berharap. Namun kamu tetap kamu. Membagi harapan yang berujung pada terka yang melangitkan prasangka. Sudah sekian lama aku berkutat pada pusaran yang sama tanpa jelas arah.

Kini aku di ujung pengharapan sementara kamu masih membuka hati untuk menyediakan penantian. Walau sebentar, penantian tetaplah penantian. Meski entah apa yang akan kita dapat dari pertemuan di seberang penantian ini. Bukankah segalanya sudah pasti, kamu telah dimiliki dan aku sudah terlambat untuk bertanya lagi?

Senja dan malam mungkin waktu yang singkat dan rapat, tapi menjadi terlalu dekat ketika hujan merangkul erat. Aku bisa saja menembus tirai air langit ini demi menghampirimu tapi apalah perlunya jika aku hanya akan menjemput basa-basi penolakan dan pernyataan menyalahkanku yang butuh lama untuk mengikatmu. Ucapanmu yang malah akan membuatku bertambah gerah. Kamu sendiri yang mengungkit ini lagi saat semua sudah terkunci dalam-dalam meski tak pernah mati.

Hujan turun saja terus begitu, di dalam diri ragu berkutat melulu. Antara ingin mengejar dan perasaan terlanjur terkapar menampar-nampar sosok yang belum sepenuhnya sadar. Seharusnya ini masalah muda, lupakan dan tutup pintu untuk celah apapun yang kau buka. Cukup.

Tapi tidak pernah benar-benar semudah itu. Kaki ini memang sudah malas menghampiri tapi ada ruang yang jauh di dalam yang masih sepi dan hanya akan terisi dengan hadirmu. Ini mulai memuakkan, aku tak mau jatuh sedalam ini. Aku tidak mau berkata jujur seterlambat ini.

aku putuskan untuk menyerah ketika malam datang di tengah hujan yang masih berenda. Ini petunjuk Tuhan. Aku meyakini Tuhan memang tak ingin kita melanjutkan rasa. Hujan tak juga henti, oleh malam petang dihabisi, dan kamu di sana pasti sudah pergi. Aku terlambat, dan memang tidak sepantasnya berharap lebih nekat. Cukup.

***

22.00

Hujan akhirnya reda, kamu akhirnya kalah. Kamu takut bertaruh hanya karena keterlambatanmu padahal aku bertaruh dengan pendirianku. Kamu memang terlambat, tapi aku masih menunggu kamu berbuat nekat. Hingga malam meninggi, meski aku sudah tak seharusnya di sini, masih ada ruang yang diam-diam sepi dan hanya bisa terisi oleh hadirmu. Hadirmu yang kalah oleh waktu dan keberanianmu. Kini semua cukup. aku akan kembali pada hidupku dengan yang lain. Yang datang lebih cepat darimu. Dirimu yang sejak dulu tidak pernah berani jujur telah kalah oleh orang yang tak takut menegur.

Kamu kalah bukan oleh keterlambatanmu, kamu kalah karena kamu pengecut.

*) we're here, just in case you don't know what you're reading now   

Mata Kota

model: Rizka Zahra Tamira


Yang menarik dari matanya adalah ketika terisi lamunan di tiap penjuru liriknya. Seolah mengacak-acak gerik lewat tatapan yang tidak terlalu mengusik. Apapun yang berada di titik tatapnya tidak akan menemukan tempat untuk lari, semua terkunci meski diam-diam dan semakin lama semakin terasa menikmati. Kali ini mata itu menangkap hujan yang deras di luar warung kopi ini. Meresap basah sambil menikmati aroma petrichor yang menyengat dari tanah yang lembab. Di antara itu semua, kita saling mencoba untuk beradaptasi dengan debar dalam diri. Butuh beberapa menit sebelum akhirnya menjadi biasa lagi dan menetralkan diri di tengah gelisah yang menjadi. Sebelum akhirnya sadar jika malam sudah semakin tinggi meski belum ingin juga diakhiri.

“Berapa lama?” tanyanya.

“Lima tahun,” jawabku sambil tertawa.

“Hahaha lima tahun ya.. rasanya baru kemarin,” Ia balas tertawa sambil kemudian meminum kopi di cangkirnya. Ditaruhnya kembali cangkir itu dan kemudian diambil lagi pensilnya. Ia melanjutkan lagi gambar garis-garis kaku itu di kertasnya. Mengukur sana-sini, mencoret lagi, dan terus begitu yang Ia lakukan.

“Iya rasanya baru kemarin, kamu masih sibuk sama perangkat tulismu itu juga ya”

“Iya, bedanya sekarang dibayar tiap ngerjain ini, dulu kan mati-matian biar lulus doang,” ujarmu sambil tersenyum di balik garis-garis yang muncul dari pensilmu, di atas kertasmu. Seperti biasa dalam beberapa jam ke depan, dalam cangkir kopi ke sekian, di atas kertas itu akan tercipta sebuah gambar lanskap yang bagus.

“Yang ini apa?” aku bertanya.

“Taman nih. Untuk perumahan gitu,” kamu menjawab sambil menyeruput lagi cangkir kopimu. 

Kemudian hening mengambil peran seolah membalas hujan yang belum mau turun pelan-pelan. Aku masih menunggu kamu yang tampak tak ingin diganggu. Menunggu kalimat demi kalimat lain mengisi kekosongan yang makin terasa dungu. Seperti dulu kala mula bertemu, kita pun saling menunggu. Aku menunggu datangmu, setelah datangmu ada, aku menunggu namamu. Kemudian setelah namamu ku tahu, aku menunggu waktumu. Waktu untuk dihabiskan sambil aku menghabiskan waktu di kotamu. Namun sayang jarang lagi kita bertemu.

Akhirnya kamu menyerah dengan gambarmu. Kamu masukan semua peralatan itu lagi dan menyeruput kopimu lagi. Belum dapet inspirasi, begitu katamu. Aku merapatkan jaket jeans yang melekat di tubuhku sambil menyalakan sebatang rokok. Ada getir yang mengalir ketika aku memaksa berpikir kata apa yang sebaiknya bergulir. Pertanyaan apa yang kira-kira bisa membuat kenyamanan itu hadir.

“Lima tahun dari saat pertama kamu datang ke sini ya. Pernah sekali datang lagi dan setelah itu kita benar-benar berjarak. Apa ada yang berubah?” kamu menemukan pertanyaan lebih cepat.

“Apanya?”

“Semuanya,” jawabmu sambil menangkap titik mataku dengan senyum kecil. Rasanya ingin menjawab ‘tidak’ ketika tahu kalau mata itu masih teduh dan punya daya bunuh, masi bening yang selalu menggilas hening, tapi aku mengerti apa yang kau maksud dengan ‘semuanya’.

“Ada yang berubah, ada yang tidak. Kota ini masih sama dingin, kamu masih tetap ramah, tapi perasaan antara kita sudah berubah,”

“Yakin?” pertanyaan itu seperti desing peluru yang menerobos beku. Menggoda dengan senyum yang masih rancu.

“Yakin lah,” aku tertawa dan kemudian kamu pun juga.

“Dulu kita sering bercerita tentang diri masing-masing yang ternyata tidak jauh beda. Kamu mengalami apa yang terjadi padaku dan sebaliknya. Rasanya senang punya teman yang bisa mengerti,” kamu berkata sambil menatap cangkir dan memainkan tanganmu di meja. Tak sekali pun saat kalimat ini terucap, kita saling melekatkan tatap.

“Sampai sekarang masih sering sedih karena itu?”  aku yakin kamu mengerti tanpa harus kujelaskan lebih jauh. Rahasia yang sering memaksamu untuk sedih atau marah tidak ubahnya dengan alasanku untu merasakan itu.

“Kadang masih,” kamu belum juga mengalirkan tatap. “Lalu, kenapa tiba-tiba meminta bertemu?”

Aku diam. Ini pertanyaan yang tak bisa kutemukan jawabannya.  Kamu jelas tahu aku tak akan menjawab, atau kamu tentu mengerti jawabannya. Tapi kamu terlihat menunggu. Menunggu jawaban jujur yang tidak pernah sekalipun terlontar. Alasan jujur yang selama ini hanya bisa diterka lewat bahasa dan sikap yang tiba-tiba berubah. Kehadiran yang tiba-tiba selalu ada. Yang melahirkan duga sejak awal bertemu muka.

Warung kopi ini tiba-tiba terasa luas dengan munculnya kembali ingatan yang sempat redup. Kini semua yang tadinya tertutup kembali berongga, dari rongga kemudian ia menganga, hingga akhirnya terbuka lebar menyesaki seluruh sudut ruang nyata dan di tengahnya kita terhimpit dengan kejanggalan jika semakin dibicarakan. Kejanggalan yang pernah kita tinggalkan ketika semua rasa sepakat untuk dilupakan. Toh, akhirnya kita masing-masing menemukan sosok lain yang menerangi meski kejanggalan akan tetap menghantui jika gerik lama kita beri peran lagi.

“Kota ini tidak berubah ya. Masih sejuk untuk didatangi,” aku berdoa semoga kata-kata itu membelokkan keinginanmu untuk menggoda kejujuranku.

“Iya, masih sama seperti yang sering kamu tulis di tiap tulisanmu. Tulisanmu yang selalu tentangku,” jawabmu ringan sambil mengandaskan kopi di cangkirmu.

“Hahahah kenapa masih dibahas sih?”

“Hahaha tiba-tiba mengingat yang sudah lewat jadi kelewat seru malam ini”

Hening dan kejanggalan itu akhirnya melahirkan tawa lagi. Kita berbincang lebih banyak lagi tentang semua hal. Di luar hujan masih berima mengeja manja tanah yang basah. Di sini kita saling bersulang nostalgi, tawa, hingga alasan yang dicari-cari untuk menahan satu sama lain pergi. Di antara kita dan hujan di luar ada sesuatu yang tak kuasa meretas janji, yang akhirnya tumbang tertahan di dalam hati.

“Iya,” kata itu terlontar tiba-tiba dari mulut ini.

“Iya apa?” kamu mengernyitkan dahi.

“Untuk semua dugaan dan pertanyaanmu tentang apa yang terjadi dulu, jawabannya iya,” jawabku. Entah kenapa rasanya lega. Satu kata itu melontarkan pita yang mengikat dada. Terlebih setelah itu mata kita bertemu lama. Pertemuan yang akhirnya meluruhkan rindu pada tatap yang sama. Yang dulu banyak melahirkan cerita. Yang dulu menjadi alasan untuk menginjakkan kaki di tempat ini dengan mata yang masih buta. Yang kini masih sedikit terasa sama.

“Akhirnya ya..” kamu tertawa terbahak-bahak. Aku mungkin tampak bodoh kali ini. Belum selesai dengan perasaan malu, kamu bertanya lagi, “Kalau sekarang?”

“Sekarang beda. Masing-masing kita punya sosok lain yang menggantikan peran lama,”

“Yakin?” Kamu tertawa lagi, aku pun juga. Di tengah leburnya suasana, sesosok anak perempuan kecil dengan mata yang teduh dan senyum yang kecil berlari menghampirimu. Kamu memeluk anak perempuan itu dengan manis. Kamu dan dia tersenyum sama manis. Mata itu jelas matamu, senyum itu jelas milikmu. Lalu seorang pria menghampirimu dan tersenyum sopan ke arahku. Setelah berjabat untuk mengenal, kamu berlalu dengan anak perempuan dan laki-laki itu.

Aku merapatkan jaketku, menyalakan sebatang rokok lagi.

“Mungkin,” kata itu terlontar hampir tanpa suara dari mulutku.

Di luar hujan tandas, aku pun bergegas sambil menyusun ingatan tentangmu yang kembali membekas.

*) we're here, just in case you don't know what you're reading now  

Lima

model: Faizatin Nikmah

Yang pertama datang saat malam hari masih berpori basah karena seharian diterpa hujan yang kokoh. Begitu kokoh seolah senja tak juga mau roboh ketika mulai menapaki penghujungnya. Namun malam tak pernah ceroboh, Ia tau kini adalah waktu baginya untuk mengambil alih peranan. Senja takluk, dan malam resmi memeluk.

Di antara genangan air yang basah di jalan, ada kaki kita yang berdekatan dan tangan dalam genggaman. Satu tahun telah dituntaskan dan bahagia sedang meluapkan dirinya dalam terpaan. Janji diumbar. Menuju entah. Padahal manusia hanya bisa berencana tanpa ada daya untuk menentukan. Tapi kita bukan manusia saat itu. Kita adalah malaikat yang kesurupan setan yang paling bahagia. Lupa dan buta. Kamu menyerahkan tangkai yang pertama. Mawar yang klise namun amat berwarna. Karena hati di dalam sedang bermekaran rasa. Satu tahun kita resmi bersama.

Yang kedua datang ketika pagi menari-nari. Lekuknya lincah. Matahari di atas merekah rona dunia. Kamu datang tanpa duga. Sebuah kejutan kemudian hadir ketika daun-daun di jalan masih berantakan sisa diporak-porandakan angin semalaman. Kejutan itu tanpa pita tapi warnanya sama. Merah dan masih merekah. Ketika berpindah tangan, senyum yang tersungging di muka pun masih serupa dengan yang lama. Dua tahun, mawar dan rasa ini masih juga sama.

Tahun berikutnya masih pengulangan. Kita saling menjalani peran bahagia yang tak berkesudahan walau beberapa kali ada pertengkaran. Kita bergelut dengan kegoisan dan kebosanan yang muncul sesekali di tengah keinginan untuk mempertahankan kebersamaan yang tetap kuat. Tapi peluk tetap berjatuhan, rasa masih tak terelakan, genggaman masih menyatukan, dan dengan mawar yang ketiga di tahun ketiga kita masih tetap tak terpisahkan.

Yang keempat muncul dengan kebanggaan ketika bilangan yang disebut pun bukan lagi bilangan yang sedikit. Kita merasa saling mengenal dan memahami kehendak Tuhan ketika menyusupkan hati di balik rongga-rongga ragamu. Seolah kita tahu kemana ia akan bergerak. Kita bisa menerka keinginan satu sama lain dengan intuisi yang layaknya sudah terikat pasti. Masih di antara keributan kecil, masih di antara kejenuhan yang tak berhenti tampil, kita masih merayakan waktu ini. Tahun keempat, kau sodorkan lagi mawar yang mulai tak jelas apakah membuat kita renggang atau makin merapat.

Tahun kelima juga sama. Kau memberi bunga yang paling kusuka. Warna yang paling simbolis untuk kisah-kisah yang manis. Namun apa yang terjadi ternyata miris. Keyakinan dan kenyamanan yang awalnya terbangun sederhana dan penuh bunga kini terasa sedikit bisa dipertanyakan. Kamu tetap memberikan tangkai kelima di tahun kelima ini, namun ada jarak yang tampaknya tidak bisa terisi oleh bunga dan kejutan apapun ketika perlahan kamu menjauh. Di tahun kelima kita, perasaan saling memiliki dan janji untuk selalu ada mulai memudar sirna. Rasanya sulit mencari kamu di mana ketika yang bisa kutemukan adalah penolakan untuk melanjutkan yang sudah sejauh ini kita lakukan. Tahun kelima mawar tetap datang, tapi tidak melegakan.

Lewat tahun kelima, semua makin berantakan. Kamu di sana tak lagi mampu membuktikan ucapan, aku di sini tidak lagi berhias kesabaran. Kita tak lagi saling mempertahankan. Hari ini adalah tanggal yang sama seperti saat mawar-mawar berdatangan di tahun-tahun sebelumnya. Hari ini adalah waktu yang sama seperti semua bahagia dan harapan yang kita ikrarkan ketika masih ada harapan yang di selipkan agar semua lebih baik. Namun hari ini, ketika pagi, siang, senja, hingga malam tidak lagi ada penantian. Hanya berujung pada perenungan tanpa mengharapkan mawar lain diberikan. Pagi hingga senja di hari ini, di tahun keenam, mawar hanya sebuah hal yang teramat lirih untuk diingini, dan kamu adalah penggalan yang teramat perih untuk saat ini.

*) we're here, just in case you don't know what you're reading now

Saturday 23 March 2013

MukaCerita is out!

Pernah kebayang nggak baca cerita yang terinspirasi dari sketsa muka kamu? Atau percaya nggak dari satu ekspresi sketsa muka kamu bisa menghasilkan sebuah cerita yang related sama kamu?

MukaCerita membuatkan sketsa muka kamu melalui goresan pensil. Pensil? Hitam putih dong? Yap, bener banget. MukaCerita memang menspesialisasikan diri dalam lukisan sketsa hitam putih dengan menggunakan ketebalan pensil yang berbeda sesuai kebutuhan untuk menghasilkan detail yang maksimal. Kenapa kok hitam putih? karena MukaCerita merasa lukisan sketsa hitam putih lebih memiliki taste tersendiri.

Selain menggambar, Mukacerita juga bisa loh membuatkan satu cerita yang terinspirasi dari emosi di sketsa muka kamu. Atau kamu punya cerita yang mau dishare? boleh kok! nanti kita coba bantu buatin tulisan dari cerita kamu itu. Setelah cerita itu jadi, kalau kalian ada yang mau membalas cerita yang dibuat sama MukaCerita juga bisa! Kirim aja tulisan kalian tentang sketsa tersebut ke MukaCerita. Dengan berbalas kata yang terinspirasi dari sketsa yang MukaCerita buat, MukaCerita mengajak kalian untuk ikut berpartisipasi di #SketsaDiBalasKata.. Kalau satu orang punya imajinasi yang berbeda dari sketsa tersebut, maka semakin banyak orang yang menulis akan melahirkan banyak cerita yang nggak terduga juga! seru kan?
.
Caranya gimana?

Caranya kamu tinggal kirim foto yang mau dibuatin sketsanya ke email muka.cerita@gmail.com. Ingat, semakin bagus resolusi foto yang kamu kirim, semakin detail sketsa yang bisa MukaCerita buat. Nantinya sketsa yang MukaCerita buat akan berukuran kertas A4.

Untuk sketsa satu wajah, kamu hanya perlu membayar Rp 70.000 (belum termasuk frame & ongkir). Kamu juga bisa kok kalau minta digambarin sketsa berdua sama pasangan kamu. Cukup tambah Rp 20.000 aja MukaCerita akan buatin gambar dan ceritanya.

Kalau mau pake frame bisa nggak?

Bisa sih, tapi nanti akan ada tambahan ongkos beli dan masang frame. Harganya tinggal menyesuaikan aja sama harga frame yang kamu mau. Nanti akan MukaCerita konfirmasiin ke kamu.

Setelah gambar sketsa muka kamu jadi, MukaCerita akan upload soft-copy sketsa itu bareng sama ceritanya ke blog ini.

Oiya, untuk informasi lebih jauh, kamu bisa kontak MukaCerita di muka.cerita @gmail.com / add PIN BB MukaCerita 25F224EC / SMS ke 085719485537/087885049344. Follow juga @MukaCerita

=========================================================================

Owners:

Rizaldy Yusuf  @rizaldyyusuf

Mahasiswa Marketing Communication & Advertising yang menyukai musik, film, dan buku. Gemar juga menulis cerita sehingga harus bertanggung jawab atas cerita-cerita yang kamu baca di blog ini sambil mengurus blog pribadinya di secarikcoretanimajiner.blogspot.com

"Perfect people don't drink, don't fight, don't lie, don't make mistakes and don't exist" - Paulo Coelho


Hasyim Azhari  @hasyim_azhari

Mahasiswa Prodip III Kepabeanan dan Cukai STAN angkatan XXV. Pecinta Alam, traveller, bertualang mengenali diri lebih jauh, mengenal Sang Pencipta lebih dekat melalui keindahan alam. Menyukai sketsa gambar pensil, lebih suka gambar daripada nulis cerita.

"it's easier to go down a hill than up it, but the view is much better at the top" - Henry Ward Beecher